Monday, October 30, 2006

Aku Tak Dapat Melihat...

Aku tak dapat melihat, aku buta...indera penglihatanku yang dari dulu aku andalkan ternyata sekarang mengkhianatiku, dia tertidur dan tak mau bangun kembali.
Tapi apakah hidupku kemudian berhenti karenanya ? tidak, hidupku tak berhenti sampai disini, Sang Khalik masih menginginkanku untuk menerima segala tantangan kehidupan di dunia ini.

Aku harus belajar untuk menghadapi semuanya, aku harus belajar melihat semuanya tidak dengan mataku tapi dengan hatiku, dengan perasaanku, dengan sentuhan kulitku, dengan pendengaranku, dengan penciumanku. Aku harus belajar untuk kehilangan keindahan yang tertangkap oleh indera penglihatanku dan harus aku ganti dengan gambar yang ditangkap dari mata hatiku.

Aku harus bisa mandiri, aku harus bisa melakukan semuanya dengan segala keterbatasanku ini, di dunia yang keras ini, aku tidak pernah mengharapkan kalian akan membantuku, aku tidak pernah berharap bahwa kalian akan memberikan bimbingan kepadaku, aku harus belajar untuk melakukannya sendiri.

Mungkin aku memang buta, tapi aku yakin aku bisa melakukan segala sesuatunya tanpa campur tangan kalian, tanpa bantuan kalian, tanpa bimbingan kalian, bukan karena aku sombong, tapi bukankah kalian bukan orang yang senang di repotkan oleh seorang cacat seperti aku ? Aku tahu tidak semua dari kalian setuju, tapi berapa banyak ? apalagi di kota besar seperti ini, aku adalah aku, dan kamu tidak ada urusannya dengan aku, bukankah begitu teman ?

Aku tidak akan merepotkan kalian dan tolong jangan kalian hina aku, aku juga manusia biasa, seperti kalian, aku juga punya perasaan, walaupun mungkin aku bisa lebih sabar dari kalian karena aku sudah merasakan pahitnya kehidupan lebih pahit dari kalian, tapi kesabaranku juga ada batasnya.

Apakah kalian sadar bahwa bahwa apa yang kalian lihat dengan indera penglihatan kalian itu sebenarnya adalah semu belaka, kadang kalian ditipu dengan keindahannya, dari kebutaanku ini aku belajar untuk melihat dengan hati, melihat dengan jiwa, melihat sesuatu yang kadang tersembunyi di balik keindahan yang terpancar dan terlihat oleh mata. Dari situ aku bisa melihat kejujuran yang jujur, kebaikan yang tulus dan keindahan kehidupan yang sebenarnya.

Teman, aku memang buta, tapi aku mensyukurinya karena mungkin ini yang digariskanNya.

Special untuk teman-teman yang kehilangan indera penglihatannya, aku bangga kepada kalian....

Wednesday, October 11, 2006

Sebuah Cerita Kehidupan...

Seorang ibu berprofesi peminta-minta yang berada di sudut lampu merah itu menggendong anaknya yang masih kecil, berjalan mendekati seorang pedagang makanan keliling. Dengan beberapa ratus rupiah sebuah bungkus permen itu berpindah tangan, yang kemudian diberikannya kepada sang anak di gendongan. Sang anak dengan wajah ceria menerima dan kemudian memainkannya tanpa bermaksud memakannya, mungkin karena tidak tahu bagaimana cara membukanya atau memang dia hanya memainkannya. Sang kakak mendekatinya dan mencoba untuk meminta permen itu, tapi sang adik tak memberikannya dan karena kakanya memaksa maka menangislah si kecil.
Sebuah potret nuansa kehidupan manusia di kota metropolitan, sebuah foto yang jelas menggambarkan bagaimana beratnya mengarungi kehidupan ini.

Anak mungil yang tidak seharusnya berada tiap hari di jalanan yang penuh dengan kotoran kimia itu tanpa dapat menolak harus menjalaninya, dia harus bersahabat dengan semua kotoran, debu, motor, dan mobil serta orang-orang yang lewat di lampu merah itu, dia, tanpa pernah mengerti menghirup bulat-bulat semua hal yang di sajikan di depan hidungnya, semua kotoran yang seharusnya di buang oleh kuda-kuda besi itu harus dihirup dan dimasukkan ke paru-parunya yang kecil, harus dialirkan oleh darahnya ke semua sudut bagian tubuh mungilnya. Sebuah cerita sedih yang tak tau kapan akan berakhir.

Sang kakak yang masih berusia 6 tahunan, yang juga tidak seharusnya menemaninya karena bukankah dia sudah cukup umur untuk masuk ke sebuah sekolah ? untuk duduk di bangku kecil dan mendengarkan semua pelajaran yang diberikan oleh sang guru ? bukankah dia sebaiknya bermain di sebuah tanah lapang yang cukup asri daripada harus bermain di pinggiran trotoar jalan ? bukankah dia layak untuk mendapatkan teman-teman yang lebih baik untuk bermain daripada bermain dengan orang-orang yang berumur jauh lebih tua darinya ?

Dan sang ibu, yang menjadi sumber dari segala sumber ini semua, apakah patut disalahkan ? mungkinkah dia dapat meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil itu di rumah, jika mereka mempunyai rumah, sendiri tanpa pengawasan ? mungkinkah dia akan berada di jalanan kalo dia mempunyai suami yang bisa memberikan nafkah bagi keluarga kecil itu ? mungkinkah dia akan "mengorbankan" masa depan anaknya dengan cara seperti itu ? ataukah dia seorang ibu yang malas yang hanya memikirkan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan nasib anak-anaknya ? ataukah dia memang tidak tahu bahwa semua yang dia lakukan itu merusak kehidupan masa depan anak-anaknya ? atau dia memang sudah putus asa dengan semua kemiskinan yang selalu menemani sepanjang kehidupannya ?

Sebuah cerita kehidupan yang selalu berulang dan berulang, kapankah akan usai ?

Terinspirasi dari sebuah kejadian di pagi hari ini di sebuah perempatan lampu merah