Thursday, August 31, 2006

Terima kasih, atas cintamu…

Pagi ini serasa sang raja cahya memancarkan kekuasaanya lebih lembut, selembut kehangatan yang menyapa kulit tubuhku, memberikan kesegaran dan rasa nyaman pada tubuh dan jiwa ini.

Ku teringat kemarin saat kau ungkapkan perasaanmu yang terdalam yang kau tujukkan untukku, sebuah perasaan jujur dan suci yang tlah di anugerahkan dari Sang Pencipta untuk mahluk-mahluk ciptaan-Nya.

Betapa rasa hangat, nyaman, bahagia, dan haru bercampur menjadi satu memenuhi seluruh sisi rongga hatiku, membuat pikiranku bagaikan di letakkan di lemari pendingin yang membekukan, serasa jiwa meninggalkan raga ini ‘tuk sekedar melompat meloncat dan berlari dan menari di angkasa, merayakan kebahagiaan ini, menikmati rasa yang kemudian menjalar ke tiap seluk tubuhku.

Sayang, cinta yang kauberikan kepadaku bagaikan sebuah pelukan hangat di waktu rasa dingin menyerangku, bagaikan sebuah cahaya dimana kekelaman menderaku, bagaikan sebuah oase di tengah kedahagaanku.

Kasih, terima kasih atas rasa sayang yang kau curahkan tak hentinya, rasa itu benar-benar tlah menyembuhkan segala duka yang pernah bersemayam di dalam hatiku ini, rasa sayangmu telah membuat aku merasa bahwa kehidupanku ini menjadi jauh lebih baik dengan adanya dirimu.

Tanganmu yang selalu menggenggam tanganku memberikan rasa teduh yang tak terhingga, sehingga aku merasa semakin kuat untuk menjalani kehidupan ini.
Kekasihku, masih panjang jalan yang harus kita tempuh berdua, masih banyak cobaan yang akan menyertai kehidupan cinta kita ini, tapi yakinlah selalu pada cinta kasih yang tlah bersemayam di hatiku dan hatimu, mari kita pupuk tanaman cinta yang tlah tumbuh di hati kita, jangan biarkan cinta ini mati sebelum cita-cita suci kita tercapai, berikanlah selalu kesegaran padanya sehingga menjadi berkembang dan memenuhi seluruh darah yang mengalir dalam tubuh ini.

“Bapa, terima kasih atas anugerah yang tlah kau berikan kepada kami, terima kasih karena Kau mau membantu kami menyuburkan tanaman cinta yang tlah tumbuh, kami mohon agar Kau mau membantu kami menjaganya sampai akhir hayat kami, sampai kau panggil kami ke dalam kerajaanMu. Amin.”
(Special for Sherly dan teman-teman yang telah “menemukan” cintanya)

Wednesday, August 23, 2006

Sepenggal Cerita Sedih....

Wajah mungil dan lucu itu berubah sayu, matanya yang biasanya bening dan memancarkan cahaya kegembiraan sekarang mendadak sendu bagai matahari yang tertutup awan tebal. Tanggannya yang biasanya tak berhenti bergerak sekarang tergolek bagaikan dahan patah. Bau ruangan yang tidak mengenakkan karena bercampur dengan bau obat-obatan dan pewangi lantai yang cukup menyengat. Anak kecil itu mengalami ketidaknormalan di bagian tubuhnya yang membuat dia tidak dapat beraktifitas lagi dan harus rela untuk selalu berteman dengan tempat tidur dibanding dengan anak-anak sebayanya.

Bukan, ketidaknormalan itu bukan karena ulahnya, tetapi merupakan "rencana" dari Sang Kuasa, yang tidak dapat dielakkan dan tak dapat ditolak.

Sebagai manusia yang lemah, rasa duka menjalar dalam seluruh hati, pori tubuh melebar melihat kenyataan yang terbias di mata, dan air dari dalam mata tak kuasa terbendung dan meleleh jatuh melewati setiap lekuk pipi tuk kemudian jatuh ke tanah dan hilang tak berbekas.

Anak itu tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, dia tidak tahu bahwa sebentar lagi dia akan menghadapi pembantu Sang Khalik yang bertugas untuk berusaha menyelamatkan hidupnya, dia tidak tahu bahwa sebentar lagi tubuh mungilnya akan di dera dengan pisau-pisau kecil yang tajam dan mengkilap dan siap membelah tubuhnya yang mulus dan bersih itu.

Diantara kedukaan sang kecil, ayah bundanya juga mengalami kedukaan yang tak kalah hebatnya, rasa sayang menjadi alasan utama, dimana saat pemikiran bagaimana menyelamatkan jiwa sang kecil, pemikiran lainnya mengharuskan mereka untuk mencari cara bagaimana memberikan sejumlah uang kepada rumah sakit dan dokter yang melakukan pembedahan itu, karena biaya pengobatan itu bagaikan membeli sebuah langit bagi mereka.

Tapi Sang Khalik memutuskan lain, di saat semuanya sedang terkungkung dalam pemikiran-pemikirannya sendiri, ternyata sang bocah tanpa meninggalkan pesan sesuatupun pulang ke rumah Sang Pemberi Hidup. Ya, dia pulang ke rumahnya yang abadi dimana penyakit dan segala kefanaan tak ada disana, dimana kebahagiaan menjadi santapan sehari-hari dan kedamaian selalu memeluk dengan erat.

Selesailah sebuah cerita kehidupan seorang anak manusia yang belum mengenal apa arti dosa yang belum mengerti apa yang baik dan apa yang salah.

Semoga rasa kehilangan itu tak akan lama mengendap di dalam hati pengasuh sementara sang bocah, semoga rasa sedih cepat pupus dan diganti dengan rasa pasrah, dan tawaqal kepada Sang Pemberi Hidup.

(Untuk Safitri yang tlah meninggalkan dunia fana ini, semoga Bapa di Surga memberikan tempat di sisi kananNya dan memberikan ketabahan untuk orang-orang yang ditinggalkannya)

Wednesday, August 16, 2006

MERDEKA !!!

Photobucket - Video and Image Hosting

Wednesday, August 09, 2006

Semoga...

Seorang bocah duduk sendiri, kakinya yang tak begitu panjang bergerak-gerak, menendang-nendang plastik atau apapun yang melintas di dekat kaki kecil itu karena tertiup angin.

Wajahnya yang kuyu, dan pakaian yang agak kumal menutupi tubuh kecilnya, kulitnya kehitaman terkena terik matahari dan debu jalanan dari kuda-kuda besi yang melintas. Sambil ditangannya memegang sebuah gelas plastik yang sudah tak utuh bentuknya.

Bocah itu, paling banyak umurnya baru 8 tahun, tapi hari dimana dia seharusnya duduk di bangku dalam sebuah kelas dan berhadapan dengan seorang guru, saat ini di malah duduk di pinggiran trotoar dan berhadapan dengan mobil dan motor yang membuang lembah kimia seenaknya di bumi ini.

Sudah sekian tahun, bocah cilik itu selalu berada di perempatan itu untuk membantu kehidupannya dan orang tuanya, ayahnya hanyalah seorang pemulung sampah sedangkan ibunya menjadi penjaja makanan ke kampung-kampung sudut kota ini, sedangkan dia menjadi pengemis jalanan, dan adiknya menjaga adiknya yang paling kecil di rumah.

Bocah itu bukanlah anak yang tidak mau sekolah, tapi apa yang bisa diharapkannya dari kehidupan di kota yang keras ini ? untuk hidup cukup saja dibutuhkan banyak sekali pengorbanan, dia harus bangun pagi untuk membantu ibunya menyiapkan segala makanan yang akan dibawanya berjualan. Setelah itu dia harus pergi ke tempat mangkalnya, karena tempat itu akan ramai saat orang-orang kantoran berangkat bekerja, dan saat itulah kemungkinan terbesar bagi dia untuk dapat menambah penghasilan orang tuanya agar dapat digunakan untuk kehidupan mereka sekeluarga.

Bocah itu adalah salah satu potret kehidupan di kota yang keras ini, sebuah potret realitas kehidupan orang-orang yang tersisih dari kegemerlapan kota. Sebuah potret yang mau tak mau harus kita lihat dalam keseharian.

Siapakah yang bertanggung jawab dengan kondisi ini ? apakah orang tuanya, karena mereka tidak punya pengetahuan dan pendidikan yang cukup sehingga membuat keluarga mereka berada dalam kondisi seperti itu ? atau pemerintah yang tak dapat membiayai mereka yang berada dalam garis kemiskinan ? ataukah kita, manusia yang tiap hari berjumpa dengan mereka dan mengetahui dengan jelas raut wajah, tubuh dan baju yang mereka pakai ?

Mungkin sudah saatnya kita merenung tuk sekedar menepi dari rutinitas kehidupan kita ini sehingga kita bisa lebih menjadi manusia dibandingkan waktu sebelumnya….Semoga…

Monday, August 07, 2006

Cinta, jangan pergi…


Wahai cinta, bagaimanakah kabarmu ?

Lama tak kau sentuh hatiku dengan kehangatanmu

Cinta, mengapa kau tinggalkan hati ku ?

Sehingga menjadi gelap dan dingin



Cinta,

sejak kau tinggalkan aku

Rasa dingin menjalar di relung-relung sudut hatiku

Membuat kebekuan dalam rasa



Cinta,

dengan tiadanya engkau

Benci dan amarah mulai meraja di hatiku

yang menjadi sebab kehancuran sekelilingku



Cinta,

Kau telah lihat sendiri

Karena kau tak ada, maka dunia ini penuh dengan angkara

oleh orang-orang yang kau tinggalkan



Cinta,

Kembalilah kepada kami

Hangatkan jiwa dan hati kami

Janganlah kau pergi lagi



 

Wednesday, August 02, 2006

Damai, kurindukan...

Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah gambar yang terpampang dalam sebuah situs berita, dimana gambar itu menampilkan dua orang anak perempuan kecil yang diletakkan dalam sebuah gerobak pasir tapi dengan mata meram, dan disitu tertulis bahwa anak perempuan itu adalah dua orang dari korban agresi sebuah negara kepada negara lainnya.

Apa salah anak-anak itu sehingga menjadi korban perang ? hm…korban perang ? kelihatannya akan lebih tepat jika disebut korban keegoisan, bukankah perang terjadi karena masing-masing negara dan pihak lebih mempertahankan keego-annya dibanding berpikir untuk kedamaian yang diidam-idamkan oleh orang waras yang hidup di dunia ini ?

Hanya karena masalah “kecil” (dan tentu saja kepentingan politik), manusia dapat dengan mudah mengambil jiwa manusia lainnya tanpa ada hukum yang mampu menjamahnya, mungkin sang Pencipta sendiri yang bisa menghukum mereka.

Mengapa manusia harus melakukan hal seperti ini ? bukankah mereka itu adalah orang - orang pintar ? orang - orang yang makan sekolahan ? orang - orang yang telah dibekali dengan pelajaran moral ? orang - orang yang seharusnya telah dewasa dalam segala tindakan mereka ?
Manusia-manusia itu seperti anak-anak kecil yang bisanya mengumbar nafsunya, mengumbar segala kemarahan yang ada dalam hati dan pikirannya tanpa pernah mau berpikir akan semua konsekuensi perbuatannya itu.
Buat apa ada sekolah ? buat apa ada ajaran-ajaran agama ? buat apa ada buku - buku tentang pelajaran moral jika manusia dewasa tetap melakukan semua itu ?

Apakah perlu Sang Pengadil itu turun tangan sendiri ? untuk membuat semua di dunia ini menjadi damai dan sejahtera seperti yang diinginkanNya pada saat mencipta semua ini ?

Kurindukan semua kedamaian itu, sebuah rasa yang sangat mahal untuk kondisi dunia sekarang ini, sebuah rasa yang sulit ditemukan dalam kondisi masyarakat sekarang ini, sebuah rasa yang hanya ada dalam mimpiku dan beberapa teman-temanku, akankah semua itu akan terwujud suatu hari nanti ?
Sekarang yang dapat kulakukan adalah memberikan damai pada orang-orang yang ada di sekitarku dan berharap orang-orang di sekitarku itu akan juga memberikan damainya kepada orang-orang di sekitarnya. Semoga damai ini bisa menyebar ke seluruh semesta.

Someday
When we are wiser
When the world’s older
When we have learned
I pray
Someday we may yet live
To live and let live

Someday
Life will be fairer
Need will be rarer
And greed will not pay
God speed
This bright millennium
On its way
Let it come
Someday



(OST Hunchback of NotreDame)