Saturday, December 23, 2006

Saturday, December 16, 2006

Si Gila, Maafkan Aku …

Si gila, maafkan aku, yang tak menduga hal seperti itu bakal terjadi, yang dapat aku lakukan hanyalah meminta maaf kepadamu, karena saat kau hadir di lingkungan sini, aku hanya berpangku tangan, aku hanya melihatmu sebagai si gila, seseorang yang tidak waras otaknya, yang berjalan hilir mudik tanpa tujuan dan keinginan. Keberadaanmu bagiku hanyalah sebuah intermezzo kehidupan di lingkunganku ini, mungkin kadang aku menertawakan tingkahmu yang lucu, ya kuanggap engkau lucu, kadang aku takut kepadamu karena engkau dengan kegilaanmu memberikan rasa takut kepadaku, kadang aku marah kepadamu karena ketidakwarasanmu itu membuat segala hal yang kau lakukan tidak menggunakan otak sama sekali.

Si gila, disaat engkau mengalami kehamilan yang aku sendiri tak tahu bagi aku, kondisi mu itu adalah kondisi orang normal, aku tidak terganggu dengan semua itu. Aku melihat semua itu dengan pandangan mata orang yang biasa melihat keburukan yang terjadi di lingkunganku, tak ada rasa iba yang menyentuh nuraniku, tak ada rasa kaget yang menyerang otakku, mungkin aku sudah kebal dengan semua itu atau aku sudah bosan melihat segala kebobrokan yang terjadi sekitarku ? Aku tidak peduli apakah engkau sudah menikah atau belum, apakah kau diperkosa atau tidak tak ada niatan mencari tahu siapa bapak dari anakmu itu, aku acuh saja melihatnya, toch itu tidak mengganggu kehidupanku, itu yang ada di pikiranku.

Disaat engkau masuk dalam suatu berita di TV, aku baru sadar bahwa aku melakukan kekeliruan yang begitu besar, salah satu kekeliruan terbesar yang pernah aku lakukan dalam sepanjang kehidupanku, sebuah kesalahan yang menghilangkan seorang bayi tak berdosa, ya…engkau si gila memakan anak yang kau lahirkan sendiri, apakah kau salah ? banyak orang mengganggap demikian menurut aku, aku yang salah, pada saat hari-hari terakhir menjelang engkau melahirkan, aku masih dalam kondisi tak acuh melihat kondisimu padahal dari awal aku tahu bahwa engkau tidak waras, engkau bukan orang normal yang dapat berpikiran seperti orang normal dan aku tidak peduli dengan keadaanmu itu. Si gila, sekarang aku merasa aku berdosa kepadamu, karena aku adalah orang normal yang lebih gila dari dirimu, seorang normal yang lebih tak waras dari orang gila, ya aku gila dengan keacuhanku, aku tak waras karena sifat egoku. Si gila, maafkan aku…


 

Inspired by : sebuah kisah nyata yang terjadi beberapa waktu lalu

Friday, December 08, 2006

Suara Yang Kembali Terdengar...

Beberapa waktu, melakukan kristalisasi diri, tidak menghilang, hanya sekedar menepi, mencoba mencari kejernihan dari hati dan jiwa, bukan tuk menjadi seorang yang suci, orang yang hidupnya tanpa dosa, melainkan mencoba mencari apa yang seharusnya dicari dari awal mula diciptakan di dunia fana ini, bukan perkara yang mudah tapi bukan juga perkara yang sulit, dan sang waktu ikut berperan di dalamnya. Bagaikan sebuah kepompong yang mencoba menjadi suatu bentuk kehidupan yang lebih baik dan sempurna serta lebih berguna untuk kehidupan lain di sekitarnya.

Banyak kejadian yang terjadi, dan tak tuli telinga, hasrat ingin berteriak, berbicara, ingin mengucapkan sesuatu tapi tertahan di dalam hati dan pikiran saja, karena terpikir belumlah saatnya.
Lautan kehidupan yang bergejolak, bagaikan ombak yang terus menerus menerjang bibir pantai tak peduli sang surya atau sang purnama yang bertahta, tak peduli apakah kedamaian atau kekacauan yang terjadi di alam sang ombak tetap menyapa bibir pantai dengan mesranya.

Tak terasa jejaring waktu mulai melilit tubuh, bayu yang menyilir kulit telah memberikan kesegaran dan memberikan keleluasaan bagi butiran merah dalam tubuh tuk mengalir melalui pipa-pipa kecil di dalam tubuh rapuh ini. Walau sedikit dan perlahan, kegelapan yang menyelimuti mulai dikuak oleh sang cahya, apakah sang cahya itu yang akan menuntun tuk mendapatkan jalan yang diinginkan ? hanya sang waktu dan Khalik yang bisa menjawabnya.

Ketika keinginan tuk kembali melukiskan keinginan hati dan pikiran dengan kata-kata membuncah, diri mulai tak sanggup untuk melawannya, apakah ini saatnya untuk melepaskan kepompong ? aku tak tahu, dan mungkin tak ada yang tahu sampai sang pengelana waktu ini mencapai suatu titik.

Terima kasih untuk sang permaisuri dan sang pangeran, yang selalu menjaga dengan penuh sayang dan memberikan keteduhan dan kesegaran karena tak mungkin tubuh rapuh ini melakukan semuanya sendiri. Terima kasih pula, kepada alam yang telah memberikan pengajarannya dan pengalaman yang tak dapat dinilai dengan satuan uang manapun di dunia ini, dan juga kepada para sahabat yang dengan sabar trus menyapa di saat semua kekeluan dan kebekuan melingkup diri, dan terutama sang Khalik yang telah melengkapi tubuh rapuh ini dengan akal budi serta hasrat dan pikiran di dalamnya, semoga hamba hina ini tetap mendapat tuntutunan dalam mengarungi perjalanan yang tak tahu sampai dimana akhirnya.